Langsung ke konten utama

Postingan

Bahagia dan Duka

Kali ini aku terbangun di sudut pikirku Banyak kalimat yang sedang bersandar Seolah bangkit enggan diam pun segan Tak kutemui terang yang biasa dipanggil bahagia Begitu juga gelap yang dipanggil duka Aku mengitari pikirku Aku mencari satu diantara mereka berdua Sekali lagi aku tersesat Ada yang sengaja menghilangkan mereka Menjadikan pikirku datar Tak mau memilih untuk berbuat apa Aku merasakan nyeri disekujur tubuhku Bukan nyeri karena sakit atau apa Rasa itu datang ketika aku mengingat duka Tubuhku tiba tiba mematung Tak sanggup lagi berdiri Menahan awan yang ingin memuntahkan hujan Aku merasakan ada sesuatu yang meledak ledak dalam perutku Ledakan itu begitu besar Hingga mampu membuat sudut bibirku terangkat naik Ledakan itu datang ketika aku mengingat bahagia Tubuhku melonjak lonjak girang Hingga aku terjatuh dalam sadar Aku kehilangan mereka Tak ada tawa dan tangis Tak ada suka dan duka Jika kau berkenan, kembalilah Beri tahu aku bagaimana bahagia Lalu

Terbanglah

Mungkin sebaiknya memang seperti ini. Mengenalnya, menyayanginya, lalu melepaskannya. Mungkin dia seekor burung yang diijinkan Tuhan datang untuk menghiburku sejenak, dan mencoba meyakinkanku bahwa kehidupanku begitu luar biasa baik. Burung itu mengajarkanku untuk mengasihi diri sendiri terlebih dahulu sebelum mengasihi oranglain. Ingat, terlebih dahulu bukan lebih banyak. Ini artinya aku harus siap untuk menerima kekurangan dan kelebihan diriku sendiri. Mengerti dan mengenal siapa aku, sebelum berusaha mengerti dan mengenal oranglain. Kedatangan burung ini begitu singkat, aku bahkan belum sempat memeluknya erat tapi dia sudah meminta ijin untuk terbang kembali. Aku ingat dia hanya hinggap ditanganku dan menggenggamnya erat dengan cakar cakarnya. Anehnya itu tidak pernah membuat tanganku terluka, malah aku menemukan kehangatan disana. Aku kira burung ini tidak hanya hinggap lalu pergi begitu saja, aku berharap dia menetap dan selalu menemaniku. Tapi sepertinya bukan itu tujuannya d

Coretan di Stasiun

25 Juni 2016 Sinar mentari tampaknya belum cukup menghangatkan jiwa-jiwa yang semalam kedinginan menanti kepastian. Cerah memang cuaca pagi ini, tapi nampaknya beberapa wajah sendu juga menghiasi cerahnya pagi ini. Ya mungkin saja bagi mereka mendung itu hari yang mereka idam-idamkan, karena sama dengan situasi dan rapuhnya awan dalam dinding hati mereka. Alunan kaki yang berdetak sepanjang pagi ini cukup banyak menyita perhatian bagi memori-memori ku yang entah sudah berapa banyak dihabiskan. Mereka mengalun bak ayunan reot yang bergeretak tiap kali ada yang mencoba menaikinya. Aaaah, inikan baru pagi. Lalu mengapa mataku selalu mencari keberadaan senja. Dasar kau tak tahu diri, bukankah kau tahu bahwa senja sudah pulang ke rumah kemarin. Berpamitan dengan malam yang datang lalu berganti pagi. Jangan berlagu seperti anak-anak. Mereka mungkin menghibur hati-hati tua yang kesepian. Tapi apa mereka apa yang ada dalam hati-hati itu. Tuhkan jatuh, jatuhkan saja butiran air itu. Tetes