Aku merenung dalam sunyi, mengakui hati yang terluka, Dada ini sesak, es dingin membelenggu, rasa tak terbuka. Meski amarah berusaha melebur beku yang menyiksa, Air mata pun tak mampu, sesak tetap saja menguasa. Kadang kulepas seseorang, tanpa pesan atau kata, Hilang begitu saja, tanpa alasan yang terungkap nyata. Mungkin kini mereka rasakan, apa yang kurasakan sendiri, Baru kusadari saat ini, saat posisi kita terbalik nanti. Bukan tanpa alasan, diri ini terbelenggu penyesalan, Meratapi kesalahan, dalam diam dan keheningan. Satu pertemuan, segalanya tampak sempurna, Kehadiranmu, kehadiranku, tanpa ada yang menolaknya. Semalaman kujaga, agar tidurmu lelap tanpa gangguan, Dalam dekapan, dalam selimut hangat pelukan. Mungkin kau tak nyaman, atau mungkin juga tidak, Kau balas pelukanku, erat, hangat, tak ingin lepas lagi. Namun kini semua hilang, hanya tinggal kenangan, Bagaikan kapal yang menolak untuk berlayar jauh, Berusaha lepas dari jangkar, namun tetap saja terikat. Maafkanlah, Jika
Akhir-akhir ini mendung membuatku sangat cemburu Bagaimana tidak, meskipun dirutuki banyak orang karena gelapnya yang membuat panik Tirai gelapnya tetap anggun bergelantungan seakan tak ada yang mampu menjamahnya Akhir-akhir ini aku mengaca pada awan-awan hitam Mereka yang tegas bertengger Membuat beberapa manusia berjaga-jaga kapan saatnya basah tiba Tetap saja, mereka tanpa ragu menangis sejadi-jadinya Bahkan terkadang disertai tarian cahaya yang menggelegar Yang terkadang mengejutkan jiwa-jiwa yang tengah termenung Mereka tanpa ragu membasahi apa saja dibawah mereka Menyelesaikan beban yang menggantungi mereka Dan tetap tumpah hingga semua reda Mampukah aku demikian? Menjadi aku yang menyelesaikan gantungan beban Tumpah hingga reda